Jurnal: Peran Pujangga Baru Dalam Merekonstruksi Kesusastraan di Indonesia
Peran
Pudjangga Baru dalam Merekonstruksi Kesusatraan di Indonesia
Oleh : Mulya
Anom
Abstrak
Sebermula, puisi adalah sebuah karya
imajinasi dan pembendaharaan dari seluruh isi jiwa dalam diri seorang manusia.
Begitupun dengan gejala perkembangan puisi atau sastra di Indonesia. Dalam
perkembangan kesusastraan di Indonesia sendiri mengalami berbagai macam perubahan,
perubahan-perubahan periode inilah yang
terkemas pada setiap masanya dengan sebutan “angkatan”. Pada masa angkatan
inilah Pujangga Baru membuat suatu gebrakan dengan menerbitkan satu majalah
khusus kebudayaan dan kesusastraan, sehingga majalah ini
menjadi awal atau wadah bagi para budayawan,
seniman hingga cendikiawan Nusantara. Kelahiran Pujangga Baru yang
banyak melontarkan gagasan baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tak menimbukan
reaksi. Keberanian itulah yang menjadi pemicu semangat dalam menunjukan bahwasanya bahasa Indonesia itu berbeda dengan
bahasa Melayu. Pujangga Baru juga menjadi Garda terdepan pada masanya dalam
merubah pandangan para penulis tentang sastra.
Kata
Kunci: Sejarah, Puisi, Majalah, Berita,
Biografi.
Abstract
The begins, poetry is a work of the imagination and the
treasury of the entire contents inside of a human soul. Likewise with symptoms
of poetry or literary development in Indonesia. In the development of
literature in Indonesia's own experience various changes, changes in this
period were packed in every era as the "force". At the time of this
force New Poet made a breakthrough by publishing a special magazine of culture
and literature, so this magazine to be the beginning or the container for the
humanists, artists until scholars Nusantara. Birth of New Poet catapult that
many new ideas in the field of culture it is quite likely to cause a reaction.
Courage is what triggers the spirit of the show that was different Indonesian
Malay. New Poet also be Garda forefront of its time in changing the views of
the authors of the literature.
Keyword:
History, Poetry, Magazine, News,
Biografi.
Pendahuluan
Kemajuan
suatu zaman tidaklah lepas kaitannya dari sejarah pada zaman sebelumnya.
Seperti kata cendekiawan pendahulu kita, bahwa orang-orang di masa sekarang
perlu belajar dari orang-orang di masa lalu untuk menentukan masa depan mereka.
Untuk itulah sangat perlu bagi generasi di masa sekarang untuk mengkaji lagi sejarah
masa lampau sebagai referensi guna memajukan bidang keilmuan dan kehidupan di
masa sekarang dan masa yang akan datang. Dengan konsep yang sama, sebagai
sastrawan pemula, tentunya kita perlu mempelajari sejarah sastra yang mencakup seluruh
aspek-aspek penting dalam perkembangan sastra saat ini sebagai penentu kemajuan
sastra di era selanjutnya.
Secara
etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya penciptaan.
Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan
“poet” dan “poem”. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4)
menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau
mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta
melalui imajinasinya, Orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat
suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci,
yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, atau orang yang dapat menebak
kebenaran yang tersembunyi.
Perkembangan
puisi di Indonesia sendiri tidak lepas dari penyair yang banyak menciptakan
sebuah karya sastra. Secara garis besar puisi Indonesia terbagi dari beberapa
angkatan seperti penyair angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru,
angkatan 45, periode 1953-1961, angkatan
66, periode1970-1980-an, periode 2000 dan sesudahnya.
Penyair
Angkatan Pujangga Baru mempopulerkan jenis puisi yang lazim disebut sebagai
puisi baru yang meliputi soneta, distikon, kwartetrain, dan sebagainya. Penyair
yang juga dipandang kuat pada masa pujangga baru adalah Amir Hamzah yang oleh
H.B Jasin digelari sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Amir Hamzah juga
dipandang sebagai penyair terbesar pada masa sebelum perang. Selain daripada
Amir Hamzah, ada pula beberapa orang lainnya yang ikut menorehkan namanya dalam
ingatan negri kita tentang sastra Pujangga Baru.
Pujangga
Baru juga menghasilkan banyak sastra atau puisi yang menarik perhatian para
sastrawan sesudahnya. Begitu pula seterusnya, sastra periode selanjutnya juga merupakan
hasil rangsangan dari sastra yang di hasilkan sebelumnya. Demikianlah terjadi
proses persambungan sejarah puisi dari periode ke periode selanjutnya yang
menunjukan ciri-ciri tertentu sesuai dengan periodenya (Pradopo, 2003:36-37).
Jaust
dalam Sardjono (2001:148) menyatakan bahwa ada tiga hal kemungkinan dalam
sastra. Pertama, afirmatif-normatif, yaitu menetapkan dan memperkuat struktur
norma dan nilai masyarakat yang ada. Kedua restoratif, yaitu mempertahankan
norma-norma yang pada kenyataan bermasyarakatnya telah luntur dan menghilang.
Ketiga inovatif-revolusioner, yaitu merombak serta memberontak terhadap
norma-norma yang mapan dalam masyarakat.
Seiring
berjalannya waktu, sastra masa Pujangga Baru ternyata menjadi daya tarik yang
kuat di kalangan masyarakat. Bukan hanya larik-lariknya yang menyentuh,
penjiwaan dari seorang penulisnya pun menjadi salah satu faktor penentu
kualitas dari baik dan buruknya sebuah puisi. Oleh karena itu, khusus yang
menjadi pusat pembahasan kali ini adalah mengenai seluk-beluk sejarah
perjalanan sastra pada masa periode “Pujangga Baru”.
Sejarah lahirnya majalah
sastra ‘Pujangga Baru’
Pujangga
Baru, yang sejak tahun 1933 hingga 1942 dikenal sebagai majalah yang memuat
karangan-karangan berupa cerita, sajak, maupun sastra. Tidak seperti majalah
pada umumnya saat itu, majalah Pujangga Baru lebih berorientasi pada kebudayaan,
bahasa, dan kesusastraan. Mengingat pada tahun 1919 hingga akhir 1929 saat itu
belum adanya niat para pengarang untuk menerbitkan tulisan khusus kebudayaan
dan kesustraan, maka pada awal tahun 1930 terbitlah majalah Timboel (1930-1933) yang hadir sebagai
salah satu bentuk awal termotivasinya para tokoh pendiri Pudjangga Baru.
Pada
tahun 1930 majalah Timboel
menerbitkan sebuah tulisan-tulisan dalam bahasa Belanda yang kemudian pada dua
tahun selanjutnya terbit dalam bahasa Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai
redaktur. Kemudian pada tahun yang sama yaitu 1932 hadir seorang Sutan Takdir
Alisjahbana yang ketika itu masih bekerja di Balai Pustaka mengadakan sebuah
rubrik ‘Menuju Kesusastraan Baru’ di majalah Pandji Poestaka.
Baru
pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana berhasil
mendirikan majalah Poedjangga Baroe
(1933-1942). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi
“majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun
1935 berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum” dan sejak
tahun 1936 juga bunyinya berubah menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis
untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia” (Ajip, 1965:35).
Bakri Siregar dalam bukunya Sejarah Sastera Indonesia (1964:72)
mengatakan bahwa angkatan Pujangga Baru juga muncul sebagai reaksi atas
banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada
masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme
dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual,
nasionalistik dan elitis dan menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) juga dilatar belakangi
kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
Dalam
hal publikasi itu sendiri, majalah Pudjangga Baru pada awal pernyataan yang
sebenarnya hendak terbit pada bulan Mei 1933(Bakri, 1964:78). Namun
pempublikasian ini tertunda sampai bulan Juni 1933 karena dua hal. Pertama,
Armijn hendak berpindah ke Batavia untuk membantu dengan mengurus majalah tersebut
dan diperlukan waktu yang cukup. Kedua, ada perselisihan yang muncul antara
pihak Pujangga Baru dan pihak Kolff & Co mengenai biaya cetak, yang membuat
para pendiri mengambil keputusan untuk membuat percetakan sendiri. Edisi
pertama berisi kata sambutan dari tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara
dan Hoessein Djajadiningrat,
sebelas butir puisi dari penulis yang membalas surat Armijn dan Hamzah, dan dua
esai, satu oleh Armijn dan satu oleh STA (Foulcher, 1991:22-23).
Pada
umumnya kata Bakri Siregar (1964:75), majalah Pujangga Baru memakai bahasa
utama yaitu bahasa Indonesia serta sebagai majalah pertama dengan dewan redaksi
yang terdiri hanya oleh orang pribumi saja. Pada perkembangannya, majalah ini
juga awalnya tidak diterima dengan baik oleh partai politik. Para politikus
beranggapan bahwa sifat non-politis majalah ini dapat melemahkan gerakan
nasionalis dengan membuatnya kehilangan arah. Untuk menjamin dukungan yang
lebih baik, orang-orang yang bukan penulis diterima dalam dewan redaksi. Yang
pertama, Sumadang, diterima pada tahun 1935. Politikus lain yang mulai aktif
pada akhir tahun 1930-an termasuk Amir Sjarifuddin, Mohamad Sjah, dan Sugiarti.
Dalam jangka waktu inilah majalah Poedjangga Baroe mendapatkan ruang gerak yang
lebih luas.
Majalah
Pujangga Baru juga mendapat sambutan hangat dari pelbagai kaum terpelajar,
seperti: Adinegoro, Ali Hasjmy, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Hadimadja, H.B.
Jassin, I Gusti Nyoman Panji Tisna, J. E. Tatengkeng, Karim Halim, L. K.
Bohang, Muhamad Dimjati, Poerbatjaraka, Selasih, Sumanang, Sutan Sjahrir, dan
W.J.S. Poerwadarminta. Namun, di sisi lain, majalah itu tidak ditanggapi oleh
kaum bangsawan Melayu, dan bahkan dikritik keras oleh para guru yang setia
kepada pemerintah kolonial Belanda. Kata mereka, majalah tersebut merusak
bahasa Melayu karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing.
Pandangan serta corak penulisan
majalah Pujangga Baru
Gaya
penulisan yang dipakai para penulis di majalah Pujangga Baru terinspirasi dan
mengadopsi gaya gerakan Tachtiger.
Yaitu sebuah gerakan sastra yang berasal dari Belanda pada tahun 1880-an. Keith
Foulcher, seorang dosen sastra dan bahasa Indonesia di Australia, menulis bahwa
puisi yang dimuat dalam Pujangga Baru berasal dari penataan ulang bentuk
tradisional dan menekankan pemilihan kata yang estetis. menurut dia, tema yang
dituliskan termasuk pada tujuan mulia atau rasa kesepian ditengah keindahan
alam (Foulcher, 1991:63). Menurut HB Jassin, puisi-puisi ini, biarpun
menggunakan bentuk gaya Barat dan diksi ala Indonesia, masih mempunyai irama
Melayu (Hans Bague, 1963:27).
Menurut
Sutherland, sebagian besar penulis Pujangga Baru menggunakan tema ambigu
terhadap pemerintah Hindia Belanda dan budaya tradisional sebagai tema utama
dalam karya mereka. Biarpun mereka menolak kekuasaan Belanda atas Nusantara,
mereka merangkul budaya Barat. Sutherland menulis bahwa beberapa penulis yang
paling nasionalis sebenarnya sangat kebarat-baratan (1968:112). Sedangkan menurut
Herman J. Waluyo (2010:64) mengatakan bahwa corak penulisan terhadap puisi
Pujangga Baru antara lain:
a. Bentuk
atau struktur puisinya mengikuti bentuk atu struktur puisi baru seperti sonata,
distichon, tersina, oktaf, dan sebagianya.
b. Pilihan
kata-katanya diwarnai dengan kata-kata yang indah-indah, seperti dewangga, nan,
kelam, mentari, nian, kendil, nirmala, beta, pualam, manikam, boneda dan
seterusnya.
c. Kiasan
yang banyak dipergunakan adalah gaya bahasa perbandingan.
d. Bentuk
dan struktur larik-lariknya adalah simetris. Tiap larik biasanya terdiri atas
dua periode. Hal ini hasil dari pengaruh puisi lama.
e. Gaya
ekspresi aliran romantic Nampak dalam pengucapan perasaan, pelukisan alam yang
indah tentram damai, dan keindahan lainnya.
f. Gaya
puisinya diafan dan polos, sangat jelas dan lambang-lambangnya yang umum
digunakan.
g. Rima
(persajakan) dijadikan sarana kepuitisan.
Adapun
beberapa pandangan yang jelas bagi para penulis majalah Pujangga Baru
diantaranya mengenai budaya, bahasa, dan politik.
a. Budaya
Biarpun
para penulis Pujangga Baru bersatu dalam semangat nasionalisme, mereka memiliki
sudut pandang tentang budaya yang sangat berbeda. Beberapa penulis contohnya
seperti Armijn dan STA (Sutan Takdir Alisjahbana), mereka beranggapan bahwa
pengertian budaya dan sejarah Barat sangatlah penting untuk perkembangan
negara. Penulis lain, misalkan Sanusi, menekankan perlunya nilai-nilai Timur,
biarpun ada aspek budaya Barat yang diterima. Penulis untuk Pujangga Baru juga
mempunyai latar belakang agama yang berbeda (Balfas, 1976:58). Beberapa tokoh
utama, termasuk para pendiri, mempunyai latar belakang agama yang sangat
berbeda, dari yang sekuler hingga Islam santri. Berasal dari pandangan budaya
yang bertentangan itu, maka diantara bulan September 1935 dan Juni 1939
sejumlah polemik diterbitkan dalam majalah, yang membahas tentang bagaimana
cara terbaik untuk mengembangkan budaya Indonesia.
b. Bahasa
Berbeda
dari Balai Pustaka, yang menerbitkan buku dalam bahasa daerah dan bahasa
Belanda, Pujangga Baru hampir sepenuhnya dalam bahasa Indoneia dan berusaha
untuk mengembangkan bahasa nasional tersebut. Bahasa Indonesia, yang dinyatakan
sebagai bahasa nasional dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928, menurut Armijn
sudah lama berkembang. Pandangan tersebut dikembangkan oleh STA, yang menulis
bahwa bahasa itu berkembang pesat sejak munculnya Politik Etis Belanda dan
pendirian sekolah-sekolah untuk orang asli Indonesia, seluruhnya edisi November
1933 berisi tulisan STA mengenai bahasa Indonesia. Pujangga Baru mengadakan
Kongres Bahasa Indonesia pertama di kota Surakarta pada bulan Juni 1938 dari
hasil kongres tersebut memunculkan tulisan-tulisan oleh Sjarifuddin, STA, Adi
Negoro, Sukarjo Wirjopranoto, dan Sanusi.
c. Politik
Para
penulis untuk Poedjangga Baroe tidak bersatu dalam pandangan politis mereka dan
majalah ini berusaha untuk bersifat netral. Ini diterapkan supaya majalah ini
tidak disensor oleh pemerintah kolonial dan untuk melindungi penulis yang
bekerja untuk pemerintah. Namun, masih ada tulisan dari berbagai pandangan
politik yang dimuat, termasuk karya-karya oleh nasionalis budayawi, sebuah sonet
untuk teoris Marxis Rosa Luxemburg, dan catatan-catatan mengenai fasisme.
Biografi
tokoh serta karya-karya fenomenal Pujangga Baru
1. Sutan
Takdir Alisjahbana
Motor dan
pejuang bersemangat dari gerakan Pujangga Baru adalah Sutan Takdir Alisjahbana
(STA). Beliau lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 dan kemudian meninggal
di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun. Beliau ini adalah seorang
budayawan, sastrawan, dan ahli tata bahasa Indonesia. Ia juga termasuk salah
seorang pendiri Universitas Nasional, Jakarta. Pada tahun 1929 ia muncul dalam
panggung sejarah sastra Indonesia, yaitu ketika ia menerbitkan roman perdananya
yang berjudul Tak Putus Dirundung Malang.
Roman ini pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti juga
roman-romannya yang lain. Kemudian dari roman perdananya inilah ia terus
menciptakan roman-roman yang lainnya
seperti Dian Jang Tak Kunjung Padam (1932),
Lajar Terkembang (1936), Anak Perawan Disarang Penjamuan (1941),
dan 30 tahun kemudian konon Takdir menulis roman yang berjudul Grotta Azzura (Gua Biru) yang
diterbitkan berkenaan dengan hari lahirnya yang ke-60 (Ajip, 1965:38-39).
Ibunya, Puti
Samiah adalah seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal,
Sumatera Utara. Puti Samiah merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang raja
Kesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Dari
ibunya, STA berkerabat dengan Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia
(Puti Balkis dalam catatannya, 1996). Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan
Arbi, ialah seorang guru. Kakek STA dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab,
dikenal sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas.
Di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu
saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang
kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah
dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan
tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan.
Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam
salah satu bukunya yang paling terkenal, Layar Terkembang.
Sutan Takdir
Alisjahbana kemudian menikah dengan tiga orang istri serta dikaruniai sembilan
orang putra dan putri. Putra sulungnya yaitu Iskandar Alisjahbana anak dari
istri pertamanya yaitu Raden Ajeng Rohani Daha, pernah menjabat sebagai Rektor ITB, serta
mertua dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bapenas
pada Kabinet Indonesia Bersatu II, Armida Alisjahbana. Iskandar juga dikenal
sebagai "Bapak Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa (Windi Anggraeni
pada majalah Swa, 2009:22).
Keterlibatan
Sutan Takdir dengan Balai Pustaka terjalin ketika Sutan berada di Jakarta, STA
melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro
penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan
di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia
Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari
Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.
Seorang penulis
seperti STA ini pun memiliki cita-cita yang belum sempat ia wujudkan, yaitu
salah satunya adalah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar terutama
di kawasan Asia Tenggara. STA merasa kecewa karena menurutnya bahasa itu adalah
bahasa yang menggentarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan di
hampir 13.000 di Nusantara.
Karya-karya
Sutan Takdir Alisjahbana
a.
Tak
Putus Dirundung Malang
(novel, 1929)
b.
Dian
Tak Kunjung Padam
(novel, 1932)
c.
Tebaran
Mega (kumpulan sajak, 1935)
d.
Tatabahasa
Baru Bahasa Indonesia
(1936)
e.
Layar
Terkembang (novel,
1936)
f.
Anak
Perawan di Sarang Penyamun
(novel, 1940)
g.
Puisi
Lama (bunga rampai, 1941)
h.
Puisi
Baru (bunga rampai, 1946)
i.
Pelangi (bunga rampai, 1946)
j.
Pembimbing
ke Filsafat
(1946)
k.
Dari
Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
l.
The
Indonesian language and literature (1962)
m.
Revolusi
Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
n.
Kebangkitan
Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
o.
Grotta
Azzura (novel
tiga jilid, 1970 & 1971)
p.
Values
as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
q.
The
failure of modern linguistics (1976)
r.
Perjuangan
dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
s.
Dari
Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa
Modern (kumpulan
esai, 1977)
t.
Perkembangan
Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
u.
Lagu
Pemacu Ombak
(kumpulan sajak, 1978)
v.
Amir
Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
w.
Kalah
dan Menang (novel,
1978)
x.
Menuju
Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
y.
Kelakuan
Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
z.
Sociocultural
creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983). dll
Salah satu sajak karya
Sutan Takdir Alisjahbana
Di
Kakimu
Aku ‘ngembara seorang diri,
Badan lemah berdaya tiada.
Tinggi gunung yang kudaki,
Lepas mega menghadap wala.
Berapa kali aku terhenti,
Merebah diri melepaskan lelah.
Sekali aku meninjau ke bawah,
Takjub melihat permai tamasya.
Mana rumahku mana halaman,
Mata mencari kelihatan tiada.
Sekalian menyatu indah semesta,
Terpaku diri memandang taman.
Tuanku, hati hasratkan engkau!
Pimpin umatmu naik memuncak,
Tempat mega tiada menutup,
Dan pandangan terus menerus.
(H.B Jassin, 1963:57)
2. Tengku
Amir Hamzah
Tengku
Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera
(lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911 – meninggal
di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) adalah seorang sastrawan
Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan
Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan
kebudayaan Melayu. Mula-mula Amir menempuh pendidikan di Langkatsche School di
Tanjung Pura pada tahun 1916. Lalu, di tahun 1924 ia masuk sekolah MULO
(sekolah menengah pertama) di Medan.
Setahun
kemudian dia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan sekolah menengah pertamanya
pada tahun 1927. Amir, kemudian melanjutkan sekolah di AMS (sekolah menengah
atas) Solo, Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Lalu, ia kembali
lagi ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda
Hukum. Kemudian ia tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan
rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan
kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.
Dalam
kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935
terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi
sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn
Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin
dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan
puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik
kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti
Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar.
Amir
Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga
menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga
sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang
terus dihargai hingga zaman sekarang.
Analisis
dan sajak “Berdiri Aku” karya Tengku Amir Hamzah
“Berdiri Aku”
Berdiri
aku di senja senyap
Camar
melayang menepis buih
Melayah
bakau mengurai puncak
Berjulang
datang ubur terkembang
Angin
pulang menyejuk bumi
Menepuk
teluk mengepas emas
Lari
ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun
di atas alas
Benang
raja mencelup ujung
Naik
marah menyerang corak
Elang
leka sayap tergulung
Dimabuk
warna berarak-arak
Dalam
rupa maha sempurna
Rindu
senda mengharu kalbu
Ingin
datang merasa sentosa
Mengecap
hidup bertentu tuju
(Buah
Rindu: 51)
Pemikiran
dalam Sajak
Sajak
”Berdiri Aku” ini merupakan ekspresi kesedihan yang ditampilkan penyair dengan
suasana sunyi. Kesedihan ini tidak lain dikarenakan oleh perpisahannya dengan
kekasihnya dan dia harus pulang ke Medan dan menikah dengan putri pamannya.
Perasaan sedih yang sangat mendalam digambarkan penyair dengan suasana sunyi
pantai di sore hari. Dengan demikian penyair hanya mampu melihat keindahan alam
sekitar karena kebahagiaannya dan harapan telah hilang. Kesedihan yang mendalam
ini juga wujud perasaan galau penyair yang digambarkan dengan perasaannya yang dipermainkan
ombak dan angin. Sehingga hanya merenungi hiduplah yang mampu dilakukannya.
Sebagai
orang yang memiliki agama yang kuat dalam setiap akhirnya dia hanya bisa
menyerahkan semua yang dia alami ini kepada Tuhan. Dengan merenungi hidupnya
selama ini Amir berusaha untuk mengembalikan kepada Tuhan yang memberikan
kepastian dalam hidupnya. Seperti yang tergambar dalam Rindu sendu mengharu
kalbu / ingin datang merasa sentosa atau menyerap hidup tertentu tuju.
Dalam
sajak ini tergambar suasana pesimis penyair dalam menghadapi segala
permasalahan hidupnya. Suasana pesimis ini menjadikannya menjadi melankolis.
Karena dari kebanyakan sajak adalah sebuah ratapan akan hidupnya dan
kesedihannya dalam memikirkan nasib hidup yang baginya sudah benar-benar hancur.
Dengan
sajak ini Amir Hamzah ingin menyampaikan ide dan pemikirannya melalui puisi
yang dia tulis. Dia menginginkan apapun yang terjadi dalam hidup kita ini harus
mernyerahkan terhadap Tuhan karena hanya dialah yang mampu memberi kepastian
dalam kahidupan ini.
Efoni
dan irama dalam sajak
Suasana
kesedihan yang ditampilkan oleh pengarang memperlihatkan efek efoni dan irama
dalam puisi tersebut. Irama dan efek efoni itu membuat puisi itu lebih merdu
seandainya dibaca.
Walaupun
banyak kata-kata yang menimbulkan kakafoni seperti aku, senja, senyap, menepis,
bakau, datang, terkembang, teluk, sunyi, di atas, leka, sayap, merasa,
sempurna, sentosa, tertentu, dan tuju. Walaupun kata-kata tersebut memberi
kesan tidak merdu tetapi penggunan rima yang mantak dalam puisi tersebut
membuat sajak menimbulkan kesan menyenangkan. Seperti bunyi bumi-sunyi,
emas-alas, ujung-tergulung, corak-arak, sempurna-sentosa, kalbu-tuju mrupakan
rima yang membuat sajak itu akhirnya memiliki efek efoni.
Selain
itu aliterasi seperti berjulang-datang, menepuk teluk, mengempas emas, di atas
alas, naik marak menyerak corak serta asonansi seperti dalam rupa maha
sempurna, rindu-sedu mengharu kalbu, merasa sentosa, bertentu tuju. Huruf-huruf
yang sama tersebut dapat menimbulkan kesan efoni walaupun banyak katayang
berbunyi tidak merdu dengan adanya bunyi k,p,t dan s.
Selain
timbul efek efoni unsur bunyi yang berpola tersebut menimbulkan irama dalam
sajak. Persamaan bunyi pada puisi ini akan menyebabkan terdengar adanya
pergantian bunyi pendek, lembut dan rendah. Karena suasana kasunyian yang
dituliskan penyair tak mungkin memberi irama yang tinggi dan cepat tetapi irama
yang rendah atau lambat.
3. Armijn
Pane
Organisator pujangga baru adalah Armijn Pane.
Pada tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan
majalah Pujangga Baru. Armin terkenal sebagai pengarang roman Belenggu (1940). Belenggu ialah sebuah
roman yang menarik karena yang dilukiskan bukanlah gerak-gerak lahir
tokoh-tokohnya, tetapi gerak-gerak batinnya. Cerpennya “Barang Tiada Berharga”, dan sandiwaranya “Lukisan Masa” merupakan prototif untuk romannya Belenggu.
Cerpen-cerpennya bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang kemudian
dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedangkan
sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1954).
Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa
majalah Poedjangga Baroe (1939). Sajak-sajaknya tersebar kemudian dikumpulkan
juga dan terbit dibawah judul Gamelan Jiwa (1960). Ia juga banyak menulis esai
tentang sastra yang masih tersebar dalam berbagai majalah, belum dibukukan.
Dalam bahasa Belanda, Armijn menulis Kort
Overzicht van de moderne Indonesische Literatuur (1949). Gaya bahasa Armijn
sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya ia pun
lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya.
Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan pengarang lainnya
Karya
Armijn Pane :
“DALAM AKU”
Dalam aku merenda
Ingatan mengenang
ketika
Jam-jam kita berkata
Dalam aku mereda
Gerak jari ada kata
Menghitung jam-jam
kita bersua
Dalam aku menyisir
Hati terkadang desir
Lampu pelita kurang
basir
Dalam aku menyisir
Gerak tangan ada pikir
Menghitung kata
kasih kurang titir
Dalam aku berdandan
Kalbu merasa
pandangan
Berkali-kali kau
arahkan
Dalam aku berdandan
Gerak badan ada
hitungan
Membilang selasan
kita berjauhan.
(H.B.Jassin, 1963-)
Karya-karya Angkatan Pujangga Baru
Roman
Roman pada angkatan Pujangga Baru ini banyak menggunakan bahasa individual,
pengarang membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri, pembaca seolah-olah
diseret ke dalam suasana pikiran pelaku- pelakunya, mengutamakan jalan pikiran
dan kehidupan pelaku-pelakunya.
Isi roman angkatan ini tentang segala persoalan yang menjadi cita-cita
sesuai dengan semangat kebangunan bangsa Indonesia pada waktu itu, seperti
politik, ekonomi, sosial, filsafat, agama, kebudayaan. Disisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis.
Contoh roman pada angkatan ini, yaitu Belenggu karya Armyn Pane
(1940) dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Di
samping itu, ada karya roman lainnya, diantaranya Hulubalang Raja (Nur
Sutan Iskandar, 1934), Katak Hendak Menjadi Lembu (Nur Sutan Iskandar,
1935), Kehilangan Mestika (Hamidah, 1935), Ni Rawit (I Gusti
Nyoman, 1935), Sukreni Gadis Bali (Panji Tisna, 1935), Di Bawah Lindungan
Kabah (Hamka, 1936), I Swasta Setahun di Bendahulu (I Gusti
Nyoman dan Panji Tisna, 1938), Andang Teruna (Soetomo Djauhar Arifin,
1941), Pahlawan Minahasa (M.R. Dajoh, 1941).
a.
Novel/Cerpen
Kalangan Pujangga Baru tidak banyak
menghasilkan novel/cerpen. Beberapa
pengarang tersebut, antara lain:
1. Armyn Pane dengan cerpennya Barang Tiada Berharga dan Lupa. Cerpen itu dikumpulkan dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Kisah
Antara Manusia (1953).
2.
Sutan Takdir
Alisyahbana dengan cerpennya Panji Pustaka.
b.
Essay dan Kritik
Sesuai dengan persatuan dan timbulnya kesadaran nasional, maka essay pada
masa angkatan ini mengupas soal bahasa, kesusastraan, kebudayaan, pengaruh
barat, soal-soal masyarakat umumnya. Semua itu menuju ke-Indonesiaan.
Essay yang paling produktif di kalangan Pujangga Baru adalah STA. Selain itu, pengarang essay lainnya adalah Sanusi Pane dengan essai Persatuan
Indonesia, Armyn Pane dengan essai Mengapa Pengarang Modern Suka
Mematikan, Sutan Syahrir dengan essai Kesusasteraan dengan Rakyat,
Dr. M. Amir dengan essai Sampai di Mana Kemajuan Kita.
c.
Drama
Drama angkatan 33 ini mengandung semangat romantik dan idealisme, lari dari
realita kehidupan masa penjajahan tapi
bercita-cita hendak melahirkan yang baru. Contoh drama angkatan ini, yaitu Sandhyakala
ning Majapahit karya Sanusi Pane (1933), Ken Arok dan Ken Dedes
karya Moh. Yamin (1934), Nyai Lenggang Kencana karya Arymne Pane (1936),
Lukisan Masa karya Arymne Pane (1937),
Manusia Baru karya Sanusi Pane (1940), Airlangga karya Moh. Yamin (1943).
d.
Puisi
Isi puisi angkatan Pujangga Baru ini
lebih memancarkan peranan kebangsaan, cinta kepada tanah air, antikolonialis,
dan kesadaran nasional. Akan tetapi, bagaimanapun usahanya untuk bebas,
ternyata dalam puisi angkatan ini masih terikat jumlah baris tiap bait dan nama
puisinya berdasarkan jumlah baris tiap baitnya, seperti distichon (2 seuntai), terzina
(3 seuntai), kwatryn (4 seuntai), quint (5 seuntai), sektet (6 seuntai), septima
(7 seuntai), oktav (8 seuntai). Bahkan,
ada juga yang gemar dalam bentuk soneta. Hal tersebut tampak dalam kumpulan
sajak, seperti Puspa Mega karya
Sanusi Pane, Madah Kelana karya
Sanusi Pane, Tebaran Mega karya
STA, Buah Rindu karya Amir
Hamzah, Nyanyi Sunyi karya Amir
Hamzah, Percikan Pemenungan
karya Rustam effendi, dan Rindu Dendam
karya J.E. Tatengkeng.
Tokoh yang terkenal sebagai raja
penyair Pujangga Baru dan Penyair Islam adalah Amir Hamzah. Kumpulan sajaknya
adalah Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, dan Setanggi Timur.
Ciri-ciri puisi angkatan Pujangga Baru ini yaitu:
1.
Tema utama
adalah persatuan.
2.
Beraliran
Romantis Idialis.
3.
Dipengaruhi
angkatan 80 dari negeri Belanda.
4.
Genre sastra yang paling banyak adalah roman, novel,
esai, dan sebagainya.
5.
Karya sastra yang paling menonjol adalah Layar
Terkembang.
6.
Bentuk puisi
dan prosa lebih terikat oleh kaidah-kaidah.
7.
Isi bercorak
idealisme
8.
Mementingkan
penggunaan bahasa yang indah-indah (PerpustakaanCyber.com2016).
Simpulan
Perkembangan
puisi Indonesia tahun 1930-1945 disebut juga sebagai angkatan pujangga baru.
Penyair Angkatan Pujangga Baru mempopulerkan jenis puisi yang lazim disebut
sebagai puisi baru yang meliputi soneta, distikon, kwartetrain, dan sebagainya.
Penyair yang dipandang kuat pada masa pujangga baru adalah Amir Hamzah yang oleh
H.B Jasin digelari Raja Penyair Pujangga Baru. Amir Hamzah juga dipandang
sebagai penyair terbesar pada masa sebelum perang.
Ciri-ciri
puisi Pujangga Baru antara lain: (1) Bentuk atau struktur puisinya mengikuti
bentuk atu struktur puisi baru seperti sonata, distichon, tersina, oktaf, dan
sebagianya, (2) Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata yang
indah-indah, seperti dewangga, nan, kelam, mentari, nian, kendil, nirmala,
beta, pualam, manikam, boneda dan seterusnya, (3) Kiasan yang banyak dipergunakan
adalah gaya bahasa perbandingan, (4) Bentuk dan struktur larik-lariknya adalah
simetris. Tiap larik biasanya terdiri atas dua periode. Hal ini pengaruh puisi
lama, (5) Gaya ekspresi aliran romantic Nampak dalam pengucapan perasaan,
pelukisan alam yang indah tentram damai, dan keindahan lainnya, (6) Gaya
puisinya diafan dan polos, sangat jelas dan lambang-lambangnya yang umum
digunakan, (7) Rima (persajakan) dijadikan sarana kepuitisan.
Daftar
Pustaka
Wini Angraeni, Keluarga Sutan
Takdir Alisjahbana: Harus Menjadi Orang Extraordinary, Majalah Swa, 22 Januari
2009.
Jassin, Hans Bague. 1963, Pujangga Baru: Prosa dan Puisi. Jakarta. Gunung Agung.
Rosidi, Ajip. 1965,.Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Sumardjo, Jakob. 1992, Sinopsis Roman Indonesia. Bandung. PT. Citra Aditiya Bakti.
Foulcher, Keith. 1991, Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme
di Indonesia 1933-1942, Jakarta:
Girimukti Pasaka.
Bakri, Siregar. 1964, Sejarah Sastera Indonesia, Jakarta:
akademi Sastra dan Bahasa.
Balfas, Muhammad. Pengantar Sastra Indonesia Modern, Leiden: 1976.
Sutherland, Heather. 1968, Pujangga Baru: Aspek-Aspek Kehidupan
Intelektual di Indonesia pada tahun 1930-an, Ithaca: Cornell University.
Puti Balkis Alisyabana. 1996, Natal: Ranah nan Data,
Jakarta: Dian Rakyat.
Komentar
Posting Komentar