Jurnal: Peran Pujangga Baru Dalam Merekonstruksi Kesusastraan di Indonesia


Peran Pudjangga Baru dalam Merekonstruksi Kesusatraan di Indonesia
Oleh : Mulya Anom

Abstrak
Sebermula, puisi adalah sebuah karya imajinasi dan pembendaharaan dari seluruh isi jiwa dalam diri seorang manusia. Begitupun dengan gejala perkembangan puisi atau sastra di Indonesia. Dalam perkembangan kesusastraan di Indonesia sendiri mengalami berbagai macam perubahan, perubahan-perubahan periode inilah yang  terkemas pada setiap masanya dengan sebutan “angkatan”. Pada masa angkatan inilah Pujangga Baru membuat suatu gebrakan dengan menerbitkan satu majalah khusus kebudayaan dan kesusastraan, sehingga majalah ini menjadi awal atau wadah bagi para budayawan,  seniman hingga cendikiawan Nusantara. Kelahiran Pujangga Baru yang banyak melontarkan gagasan baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tak menimbukan reaksi. Keberanian itulah yang menjadi pemicu semangat dalam menunjukan  bahwasanya bahasa Indonesia itu berbeda dengan bahasa Melayu. Pujangga Baru juga menjadi Garda terdepan pada masanya dalam merubah pandangan para penulis tentang sastra.
Kata Kunci: Sejarah, Puisi, Majalah, Berita, Biografi.

Abstract
The begins, poetry is a work of the imagination and the treasury of the entire contents inside of a human soul. Likewise with symptoms of poetry or literary development in Indonesia. In the development of literature in Indonesia's own experience various changes, changes in this period were packed in every era as the "force". At the time of this force New Poet made a breakthrough by publishing a special magazine of culture and literature, so this magazine to be the beginning or the container for the humanists, artists until scholars Nusantara. Birth of New Poet catapult that many new ideas in the field of culture it is quite likely to cause a reaction. Courage is what triggers the spirit of the show that was different Indonesian Malay. New Poet also be Garda forefront of its time in changing the views of the authors of the literature.
Keyword: History, Poetry, Magazine, News, Biografi.


Pendahuluan
Kemajuan suatu zaman tidaklah lepas kaitannya dari sejarah pada zaman sebelumnya. Seperti kata cendekiawan pendahulu kita, bahwa orang-orang di masa sekarang perlu belajar dari orang-orang di masa lalu untuk menentukan masa depan mereka. Untuk itulah sangat perlu bagi generasi di masa sekarang untuk mengkaji lagi sejarah masa lampau sebagai referensi guna memajukan bidang keilmuan dan kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang. Dengan konsep yang sama, sebagai sastrawan pemula, tentunya kita perlu mempelajari sejarah sastra yang mencakup seluruh aspek-aspek penting dalam perkembangan sastra saat ini sebagai penentu kemajuan sastra di era selanjutnya.
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan “poet” dan “poem”. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, Orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, atau orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Perkembangan puisi di Indonesia sendiri tidak lepas dari penyair yang banyak menciptakan sebuah karya sastra. Secara garis besar puisi Indonesia terbagi dari beberapa angkatan seperti penyair angkatan Balai Pustaka, angkatan Pujangga Baru, angkatan 45, periode 1953-1961,  angkatan 66, periode1970-1980-an, periode 2000 dan sesudahnya.
Penyair Angkatan Pujangga Baru mempopulerkan jenis puisi yang lazim disebut sebagai puisi baru yang meliputi soneta, distikon, kwartetrain, dan sebagainya. Penyair yang juga dipandang kuat pada masa pujangga baru adalah Amir Hamzah yang oleh H.B Jasin digelari sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Amir Hamzah juga dipandang sebagai penyair terbesar pada masa sebelum perang. Selain daripada Amir Hamzah, ada pula beberapa orang lainnya yang ikut menorehkan namanya dalam ingatan negri kita tentang sastra Pujangga Baru.
Pujangga Baru juga menghasilkan banyak sastra atau puisi yang menarik perhatian para sastrawan sesudahnya. Begitu pula seterusnya, sastra periode selanjutnya juga merupakan hasil rangsangan dari sastra yang di hasilkan sebelumnya. Demikianlah terjadi proses persambungan sejarah puisi dari periode ke periode selanjutnya yang menunjukan ciri-ciri tertentu sesuai dengan periodenya (Pradopo, 2003:36-37).
Jaust dalam Sardjono (2001:148) menyatakan bahwa ada tiga hal kemungkinan dalam sastra. Pertama, afirmatif-normatif, yaitu menetapkan dan memperkuat struktur norma dan nilai masyarakat yang ada. Kedua restoratif, yaitu mempertahankan norma-norma yang pada kenyataan bermasyarakatnya telah luntur dan menghilang. Ketiga inovatif-revolusioner, yaitu merombak serta memberontak terhadap norma-norma yang mapan dalam masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, sastra masa Pujangga Baru ternyata menjadi daya tarik yang kuat di kalangan masyarakat. Bukan hanya larik-lariknya yang menyentuh, penjiwaan dari seorang penulisnya pun menjadi salah satu faktor penentu kualitas dari baik dan buruknya sebuah puisi. Oleh karena itu, khusus yang menjadi pusat pembahasan kali ini adalah mengenai seluk-beluk sejarah perjalanan sastra pada masa periode “Pujangga Baru”.
Sejarah lahirnya majalah sastra ‘Pujangga Baru’
Pujangga Baru, yang sejak tahun 1933 hingga 1942 dikenal sebagai majalah yang memuat karangan-karangan berupa cerita, sajak, maupun sastra. Tidak seperti majalah pada umumnya saat itu, majalah Pujangga Baru lebih berorientasi pada kebudayaan, bahasa, dan kesusastraan. Mengingat pada tahun 1919 hingga akhir 1929 saat itu belum adanya niat para pengarang untuk menerbitkan tulisan khusus kebudayaan dan kesustraan, maka pada awal tahun 1930 terbitlah majalah Timboel (1930-1933) yang hadir sebagai salah satu bentuk awal termotivasinya para tokoh pendiri Pudjangga Baru.
Pada tahun 1930 majalah Timboel menerbitkan sebuah tulisan-tulisan dalam bahasa Belanda yang kemudian pada dua tahun selanjutnya terbit dalam bahasa Indonesia dengan Sanusi Pane sebagai redaktur. Kemudian pada tahun yang sama yaitu 1932 hadir seorang Sutan Takdir Alisjahbana yang ketika itu masih bekerja di Balai Pustaka mengadakan sebuah rubrik ‘Menuju Kesusastraan Baru’ di majalah Pandji Poestaka.
Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalah Poedjangga Baroe (1933-1942). Pada mulanya keterangan resmi tentang majalah itu berbunyi “majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum”, tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi “pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni,  kebudayaan dan soal masyarakat umum” dan sejak tahun 1936 juga bunyinya berubah menjadi “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia” (Ajip, 1965:35).
Bakri Siregar dalam bukunya Sejarah Sastera Indonesia (1964:72) mengatakan bahwa angkatan Pujangga Baru juga muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis dan menjadi "bapak" sastra modern Indonesia. Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) juga dilatar belakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
Dalam hal publikasi itu sendiri, majalah Pudjangga Baru pada awal pernyataan yang sebenarnya hendak terbit pada bulan Mei 1933(Bakri, 1964:78). Namun pempublikasian ini tertunda sampai bulan Juni 1933 karena dua hal. Pertama, Armijn hendak berpindah ke Batavia untuk membantu dengan mengurus majalah tersebut dan diperlukan waktu yang cukup. Kedua, ada perselisihan yang muncul antara pihak Pujangga Baru dan pihak Kolff & Co mengenai biaya cetak, yang membuat para pendiri mengambil keputusan untuk membuat percetakan sendiri. Edisi pertama berisi kata sambutan dari tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Hoessein Djajadiningrat, sebelas butir puisi dari penulis yang membalas surat Armijn dan Hamzah, dan dua esai, satu oleh Armijn dan satu oleh STA (Foulcher, 1991:22-23).
Pada umumnya kata Bakri Siregar (1964:75), majalah Pujangga Baru memakai bahasa utama yaitu bahasa Indonesia serta sebagai majalah pertama dengan dewan redaksi yang terdiri hanya oleh orang pribumi saja. Pada perkembangannya, majalah ini juga awalnya tidak diterima dengan baik oleh partai politik. Para politikus beranggapan bahwa sifat non-politis majalah ini dapat melemahkan gerakan nasionalis dengan membuatnya kehilangan arah. Untuk menjamin dukungan yang lebih baik, orang-orang yang bukan penulis diterima dalam dewan redaksi. Yang pertama, Sumadang, diterima pada tahun 1935. Politikus lain yang mulai aktif pada akhir tahun 1930-an termasuk Amir Sjarifuddin, Mohamad Sjah, dan Sugiarti. Dalam jangka waktu inilah majalah Poedjangga Baroe mendapatkan ruang gerak yang lebih luas.
Majalah Pujangga Baru juga mendapat sambutan hangat dari pelbagai kaum terpelajar, seperti: Adinegoro, Ali Hasjmy, Amir Sjarifuddin, Aoh K. Hadimadja, H.B. Jassin, I Gusti Nyoman Panji Tisna, J. E. Tatengkeng, Karim Halim, L. K. Bohang, Muhamad Dimjati, Poerbatjaraka, Selasih, Sumanang, Sutan Sjahrir, dan W.J.S. Poerwadarminta. Namun, di sisi lain, majalah itu tidak ditanggapi oleh kaum bangsawan Melayu, dan bahkan dikritik keras oleh para guru yang setia kepada pemerintah kolonial Belanda. Kata mereka, majalah tersebut merusak bahasa Melayu karena memasukkan bahasa daerah dan bahasa asing.

Pandangan serta corak penulisan majalah Pujangga Baru
Gaya penulisan yang dipakai para penulis di majalah Pujangga Baru terinspirasi dan mengadopsi gaya gerakan Tachtiger. Yaitu sebuah gerakan sastra yang berasal dari Belanda pada tahun 1880-an. Keith Foulcher, seorang dosen sastra dan bahasa Indonesia di Australia, menulis bahwa puisi yang dimuat dalam Pujangga Baru berasal dari penataan ulang bentuk tradisional dan menekankan pemilihan kata yang estetis. menurut dia, tema yang dituliskan termasuk pada tujuan mulia atau rasa kesepian ditengah keindahan alam (Foulcher, 1991:63). Menurut HB Jassin, puisi-puisi ini, biarpun menggunakan bentuk gaya Barat dan diksi ala Indonesia, masih mempunyai irama Melayu (Hans Bague, 1963:27).
Menurut Sutherland, sebagian besar penulis Pujangga Baru menggunakan tema ambigu terhadap pemerintah Hindia Belanda dan budaya tradisional sebagai tema utama dalam karya mereka. Biarpun mereka menolak kekuasaan Belanda atas Nusantara, mereka merangkul budaya Barat. Sutherland menulis bahwa beberapa penulis yang paling nasionalis sebenarnya sangat kebarat-baratan (1968:112). Sedangkan menurut Herman J. Waluyo (2010:64) mengatakan bahwa corak penulisan terhadap puisi Pujangga Baru antara lain:
a.       Bentuk atau struktur puisinya mengikuti bentuk atu struktur puisi baru seperti sonata, distichon, tersina, oktaf, dan sebagianya.
b.      Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata yang indah-indah, seperti dewangga, nan, kelam, mentari, nian, kendil, nirmala, beta, pualam, manikam, boneda dan seterusnya.
c.       Kiasan yang banyak dipergunakan adalah gaya bahasa perbandingan.
d.      Bentuk dan struktur larik-lariknya adalah simetris. Tiap larik biasanya terdiri atas dua periode. Hal ini hasil dari pengaruh puisi lama.
e.       Gaya ekspresi aliran romantic Nampak dalam pengucapan perasaan, pelukisan alam yang indah tentram damai, dan keindahan lainnya.
f.       Gaya puisinya diafan dan polos, sangat jelas dan lambang-lambangnya yang umum digunakan.
g.      Rima (persajakan) dijadikan sarana kepuitisan.
Adapun beberapa pandangan yang jelas bagi para penulis majalah Pujangga Baru diantaranya mengenai budaya, bahasa, dan politik.
a.       Budaya
Biarpun para penulis Pujangga Baru bersatu dalam semangat nasionalisme, mereka memiliki sudut pandang tentang budaya yang sangat berbeda. Beberapa penulis contohnya seperti Armijn dan STA (Sutan Takdir Alisjahbana), mereka beranggapan bahwa pengertian budaya dan sejarah Barat sangatlah penting untuk perkembangan negara. Penulis lain, misalkan Sanusi, menekankan perlunya nilai-nilai Timur, biarpun ada aspek budaya Barat yang diterima. Penulis untuk Pujangga Baru juga mempunyai latar belakang agama yang berbeda (Balfas, 1976:58). Beberapa tokoh utama, termasuk para pendiri, mempunyai latar belakang agama yang sangat berbeda, dari yang sekuler hingga Islam santri. Berasal dari pandangan budaya yang bertentangan itu, maka diantara bulan September 1935 dan Juni 1939 sejumlah polemik diterbitkan dalam majalah, yang membahas tentang bagaimana cara terbaik untuk mengembangkan budaya Indonesia.

b.      Bahasa
Berbeda dari Balai Pustaka, yang menerbitkan buku dalam bahasa daerah dan bahasa Belanda, Pujangga Baru hampir sepenuhnya dalam bahasa Indoneia dan berusaha untuk mengembangkan bahasa nasional tersebut. Bahasa Indonesia, yang dinyatakan sebagai bahasa nasional dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928, menurut Armijn sudah lama berkembang. Pandangan tersebut dikembangkan oleh STA, yang menulis bahwa bahasa itu berkembang pesat sejak munculnya Politik Etis Belanda dan pendirian sekolah-sekolah untuk orang asli Indonesia, seluruhnya edisi November 1933 berisi tulisan STA mengenai bahasa Indonesia. Pujangga Baru mengadakan Kongres Bahasa Indonesia pertama di kota Surakarta pada bulan Juni 1938 dari hasil kongres tersebut memunculkan tulisan-tulisan oleh Sjarifuddin, STA, Adi Negoro, Sukarjo Wirjopranoto, dan Sanusi.

c.       Politik
Para penulis untuk Poedjangga Baroe tidak bersatu dalam pandangan politis mereka dan majalah ini berusaha untuk bersifat netral. Ini diterapkan supaya majalah ini tidak disensor oleh pemerintah kolonial dan untuk melindungi penulis yang bekerja untuk pemerintah. Namun, masih ada tulisan dari berbagai pandangan politik yang dimuat, termasuk karya-karya oleh nasionalis budayawi, sebuah sonet untuk teoris Marxis Rosa Luxemburg, dan catatan-catatan mengenai fasisme.

Biografi tokoh serta karya-karya fenomenal Pujangga Baru
1.      Sutan Takdir Alisjahbana
Motor dan pejuang bersemangat dari gerakan Pujangga Baru adalah Sutan Takdir Alisjahbana (STA). Beliau lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 dan kemudian meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun. Beliau ini adalah seorang budayawan, sastrawan, dan ahli tata bahasa Indonesia. Ia juga termasuk salah seorang pendiri Universitas Nasional, Jakarta. Pada tahun 1929 ia muncul dalam panggung sejarah sastra Indonesia, yaitu ketika ia menerbitkan roman perdananya yang berjudul Tak Putus Dirundung Malang. Roman ini pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka seperti juga roman-romannya yang lain. Kemudian dari roman perdananya inilah ia terus menciptakan  roman-roman yang lainnya seperti Dian Jang Tak Kunjung Padam (1932), Lajar Terkembang (1936), Anak Perawan Disarang Penjamuan (1941), dan 30 tahun kemudian konon Takdir menulis roman yang berjudul Grotta Azzura (Gua Biru) yang diterbitkan berkenaan dengan hari lahirnya yang ke-60 (Ajip, 1965:38-39).
Ibunya, Puti Samiah adalah seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara. Puti Samiah merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang raja Kesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Dari ibunya, STA berkerabat dengan Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia (Puti Balkis dalam catatannya, 1996). Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Kakek STA dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas. Di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal, Layar Terkembang.
Sutan Takdir Alisjahbana kemudian menikah dengan tiga orang istri serta dikaruniai sembilan orang putra dan putri. Putra sulungnya yaitu Iskandar Alisjahbana anak dari istri pertamanya yaitu Raden Ajeng Rohani Daha,  pernah menjabat sebagai Rektor ITB, serta mertua dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bapenas pada Kabinet Indonesia Bersatu II, Armida Alisjahbana. Iskandar juga dikenal sebagai "Bapak Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa (Windi Anggraeni pada majalah Swa, 2009:22).
Keterlibatan Sutan Takdir dengan Balai Pustaka terjalin ketika Sutan berada di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.
Seorang penulis seperti STA ini pun memiliki cita-cita yang belum sempat ia wujudkan, yaitu salah satunya adalah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar terutama di kawasan Asia Tenggara. STA merasa kecewa karena menurutnya bahasa itu adalah bahasa yang menggentarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan di hampir 13.000 di Nusantara.

Karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana
a.       Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
b.      Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
c.       Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
d.      Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
e.       Layar Terkembang (novel, 1936)
f.       Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
g.      Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
h.      Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
i.        Pelangi (bunga rampai, 1946)
j.        Pembimbing ke Filsafat (1946)
k.      Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
l.        The Indonesian language and literature (1962)
m.    Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
n.      Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
o.      Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
p.      Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
q.      The failure of modern linguistics (1976)
r.        Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
s.       Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
t.        Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
u.      Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
v.      Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
w.    Kalah dan Menang (novel, 1978)
x.      Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
y.      Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
z.       Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983). dll

Salah satu sajak karya Sutan Takdir Alisjahbana
Di Kakimu
Aku ‘ngembara seorang diri,
Badan lemah berdaya tiada.
Tinggi gunung yang kudaki,
Lepas mega menghadap wala.

Berapa kali aku terhenti,
Merebah diri melepaskan lelah.
Sekali aku meninjau ke bawah,
Takjub melihat permai tamasya.

Mana rumahku mana halaman,
Mata mencari kelihatan tiada.
Sekalian menyatu indah semesta,
Terpaku diri memandang taman.

Tuanku, hati hasratkan engkau!
Pimpin umatmu naik memuncak,
Tempat mega tiada menutup,
Dan pandangan terus menerus.
(H.B Jassin, 1963:57)


2.      Tengku Amir Hamzah
Tengku Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911 – meninggal di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu. Mula-mula Amir menempuh pendidikan di Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Lalu, di tahun 1924 ia masuk sekolah MULO (sekolah menengah pertama) di Medan.
Setahun kemudian dia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan sekolah menengah pertamanya pada tahun 1927. Amir, kemudian melanjutkan sekolah di AMS (sekolah menengah atas) Solo, Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Lalu, ia kembali lagi ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum. Kemudian ia tinggal di Pulau Jawa pada saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit. Pada masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain.
Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar.
Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru, tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya Bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.
Analisis dan sajak “Berdiri Aku” karya Tengku Amir Hamzah

“Berdiri Aku”
Berdiri aku di senja senyap
Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
Berjulang datang ubur terkembang

Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengepas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun di atas alas

Benang raja mencelup ujung
Naik marah menyerang corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak

Dalam rupa maha sempurna
Rindu senda mengharu kalbu
Ingin datang merasa sentosa
Mengecap hidup bertentu tuju
(Buah Rindu: 51)

Pemikiran dalam Sajak
Sajak ”Berdiri Aku” ini merupakan ekspresi kesedihan yang ditampilkan penyair dengan suasana sunyi. Kesedihan ini tidak lain dikarenakan oleh perpisahannya dengan kekasihnya dan dia harus pulang ke Medan dan menikah dengan putri pamannya. Perasaan sedih yang sangat mendalam digambarkan penyair dengan suasana sunyi pantai di sore hari. Dengan demikian penyair hanya mampu melihat keindahan alam sekitar karena kebahagiaannya dan harapan telah hilang. Kesedihan yang mendalam ini juga wujud perasaan galau penyair yang digambarkan dengan perasaannya yang dipermainkan ombak dan angin. Sehingga hanya merenungi hiduplah yang mampu dilakukannya.
Sebagai orang yang memiliki agama yang kuat dalam setiap akhirnya dia hanya bisa menyerahkan semua yang dia alami ini kepada Tuhan. Dengan merenungi hidupnya selama ini Amir berusaha untuk mengembalikan kepada Tuhan yang memberikan kepastian dalam hidupnya. Seperti yang tergambar dalam Rindu sendu mengharu kalbu / ingin datang merasa sentosa atau menyerap hidup tertentu tuju.
Dalam sajak ini tergambar suasana pesimis penyair dalam menghadapi segala permasalahan hidupnya. Suasana pesimis ini menjadikannya menjadi melankolis. Karena dari kebanyakan sajak adalah sebuah ratapan akan hidupnya dan kesedihannya dalam memikirkan nasib hidup yang baginya sudah benar-benar hancur.
Dengan sajak ini Amir Hamzah ingin menyampaikan ide dan pemikirannya melalui puisi yang dia tulis. Dia menginginkan apapun yang terjadi dalam hidup kita ini harus mernyerahkan terhadap Tuhan karena hanya dialah yang mampu memberi kepastian dalam kahidupan ini.
Efoni dan irama dalam sajak
Suasana kesedihan yang ditampilkan oleh pengarang memperlihatkan efek efoni dan irama dalam puisi tersebut. Irama dan efek efoni itu membuat puisi itu lebih merdu seandainya dibaca.
Walaupun banyak kata-kata yang menimbulkan kakafoni seperti aku, senja, senyap, menepis, bakau, datang, terkembang, teluk, sunyi, di atas, leka, sayap, merasa, sempurna, sentosa, tertentu, dan tuju. Walaupun kata-kata tersebut memberi kesan tidak merdu tetapi penggunan rima yang mantak dalam puisi tersebut membuat sajak menimbulkan kesan menyenangkan. Seperti bunyi bumi-sunyi, emas-alas, ujung-tergulung, corak-arak, sempurna-sentosa, kalbu-tuju mrupakan rima yang membuat sajak itu akhirnya memiliki efek efoni.
Selain itu aliterasi seperti berjulang-datang, menepuk teluk, mengempas emas, di atas alas, naik marak menyerak corak serta asonansi seperti dalam rupa maha sempurna, rindu-sedu mengharu kalbu, merasa sentosa, bertentu tuju. Huruf-huruf yang sama tersebut dapat menimbulkan kesan efoni walaupun banyak katayang berbunyi tidak merdu dengan adanya bunyi k,p,t dan s.
Selain timbul efek efoni unsur bunyi yang berpola tersebut menimbulkan irama dalam sajak. Persamaan bunyi pada puisi ini akan menyebabkan terdengar adanya pergantian bunyi pendek, lembut dan rendah. Karena suasana kasunyian yang dituliskan penyair tak mungkin memberi irama yang tinggi dan cepat tetapi irama yang rendah atau lambat.

3.      Armijn Pane
Organisator pujangga baru adalah Armijn Pane. Pada tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah Pujangga Baru. Armin terkenal sebagai pengarang roman Belenggu (1940). Belenggu ialah sebuah roman yang menarik karena yang dilukiskan bukanlah gerak-gerak lahir tokoh-tokohnya, tetapi gerak-gerak batinnya. Cerpennya “Barang Tiada Berharga”, dan sandiwaranya “Lukisan Masa” merupakan prototif untuk romannya Belenggu. Cerpen-cerpennya bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang kemudian dikumpulkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedangkan sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan dengan judul Jinak-jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Sajak-sajaknya tersebar kemudian dikumpulkan juga dan terbit dibawah judul Gamelan Jiwa (1960). Ia juga banyak menulis esai tentang sastra yang masih tersebar dalam berbagai majalah, belum dibukukan. Dalam bahasa Belanda, Armijn menulis Kort Overzicht van de moderne Indonesische Literatuur (1949). Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya. Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan pengarang lainnya
Karya Armijn Pane :
“DALAM AKU”

Dalam aku merenda
Ingatan mengenang ketika
Jam-jam kita berkata

Dalam aku mereda
Gerak jari ada kata
Menghitung jam-jam kita bersua

Dalam aku menyisir
Hati terkadang desir
Lampu pelita kurang basir

Dalam aku menyisir
Gerak tangan ada pikir                                                                 
Menghitung kata kasih kurang titir

Dalam aku berdandan
Kalbu merasa pandangan
Berkali-kali kau arahkan

Dalam aku berdandan
Gerak badan ada hitungan
Membilang selasan kita berjauhan.
(H.B.Jassin, 1963-)


Karya-karya Angkatan Pujangga Baru
Roman
Roman pada angkatan Pujangga Baru ini banyak menggunakan bahasa individual, pengarang membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri, pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana pikiran pelaku- pelakunya, mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan pelaku-pelakunya.  
Isi roman angkatan ini tentang segala persoalan yang menjadi cita-cita sesuai dengan semangat kebangunan bangsa Indonesia pada waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial, filsafat, agama, kebudayaan. Disisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis.
Contoh roman pada angkatan ini, yaitu Belenggu karya Armyn Pane (1940) dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Di samping itu, ada karya roman lainnya, diantaranya Hulubalang Raja (Nur Sutan Iskandar, 1934), Katak Hendak Menjadi Lembu (Nur Sutan Iskandar, 1935), Kehilangan Mestika (Hamidah, 1935), Ni Rawit (I Gusti Nyoman, 1935), Sukreni Gadis Bali (Panji Tisna, 1935), Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka, 1936), I Swasta Setahun di Bendahulu (I Gusti Nyoman dan Panji Tisna, 1938), Andang Teruna (Soetomo Djauhar Arifin, 1941), Pahlawan Minahasa (M.R. Dajoh, 1941).

a.    Novel/Cerpen
Kalangan Pujangga Baru tidak banyak menghasilkan novel/cerpen. Beberapa pengarang tersebut, antara lain:
1.    Armyn Pane dengan cerpennya Barang Tiada Berharga dan Lupa. Cerpen itu dikumpulkan dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Kisah Antara Manusia (1953).
2.    Sutan Takdir Alisyahbana dengan cerpennya Panji Pustaka.

b.    Essay dan Kritik
Sesuai dengan persatuan dan timbulnya kesadaran nasional, maka essay pada masa angkatan ini mengupas soal bahasa, kesusastraan, kebudayaan, pengaruh barat, soal-soal masyarakat umumnya. Semua itu menuju ke-Indonesiaan. Essay yang paling produktif di kalangan Pujangga Baru adalah STA. Selain itu, pengarang essay lainnya adalah Sanusi Pane dengan essai Persatuan Indonesia, Armyn Pane dengan essai Mengapa Pengarang Modern Suka Mematikan, Sutan Syahrir dengan essai Kesusasteraan dengan Rakyat, Dr. M. Amir dengan essai Sampai di Mana Kemajuan Kita.

c.    Drama
Drama angkatan 33 ini mengandung semangat romantik dan idealisme, lari dari realita kehidupan masa penjajahan tapi bercita-cita hendak melahirkan yang baru. Contoh drama angkatan ini, yaitu Sandhyakala ning Majapahit karya Sanusi Pane (1933), Ken Arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin (1934), Nyai Lenggang Kencana karya Arymne Pane (1936), Lukisan Masa karya Arymne Pane (1937),  Manusia Baru karya Sanusi Pane (1940), Airlangga karya Moh. Yamin (1943).

d.        Puisi
Isi puisi angkatan Pujangga Baru ini lebih memancarkan peranan kebangsaan, cinta kepada tanah air, antikolonialis, dan kesadaran nasional. Akan tetapi, bagaimanapun usahanya untuk bebas, ternyata dalam puisi angkatan ini masih terikat jumlah baris tiap bait dan nama puisinya berdasarkan jumlah baris tiap baitnya, seperti distichon (2 seuntai), terzina (3 seuntai), kwatryn (4 seuntai), quint (5 seuntai), sektet (6 seuntai), septima (7 seuntai), oktav (8 seuntai). Bahkan, ada juga yang gemar dalam bentuk soneta. Hal tersebut tampak dalam kumpulan sajak, seperti Puspa Mega karya Sanusi Pane, Madah Kelana karya Sanusi Pane, Tebaran Mega karya STA, Buah Rindu karya Amir Hamzah, Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah, Percikan Pemenungan karya Rustam effendi, dan Rindu Dendam karya J.E. Tatengkeng.
Tokoh yang terkenal sebagai raja penyair Pujangga Baru dan Penyair Islam adalah Amir Hamzah. Kumpulan sajaknya adalah Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, dan Setanggi Timur.
Ciri-ciri puisi angkatan Pujangga Baru ini yaitu:
1.      Tema utama adalah persatuan.
2.      Beraliran Romantis Idialis.
3.      Dipengaruhi angkatan 80 dari negeri Belanda.
4.      Genre sastra yang paling banyak adalah roman, novel, esai, dan sebagainya.
5.      Karya sastra yang paling menonjol adalah Layar Terkembang.
6.      Bentuk puisi dan prosa lebih terikat oleh kaidah-kaidah.
7.      Isi bercorak idealisme
8.      Mementingkan penggunaan bahasa yang indah-indah (PerpustakaanCyber.com2016).

Simpulan
Perkembangan puisi Indonesia tahun 1930-1945 disebut juga sebagai angkatan pujangga baru. Penyair Angkatan Pujangga Baru mempopulerkan jenis puisi yang lazim disebut sebagai puisi baru yang meliputi soneta, distikon, kwartetrain, dan sebagainya. Penyair yang dipandang kuat pada masa pujangga baru adalah Amir Hamzah yang oleh H.B Jasin digelari Raja Penyair Pujangga Baru. Amir Hamzah juga dipandang sebagai penyair terbesar pada masa sebelum perang.
Ciri-ciri puisi Pujangga Baru antara lain: (1) Bentuk atau struktur puisinya mengikuti bentuk atu struktur puisi baru seperti sonata, distichon, tersina, oktaf, dan sebagianya, (2) Pilihan kata-katanya diwarnai dengan kata-kata yang indah-indah, seperti dewangga, nan, kelam, mentari, nian, kendil, nirmala, beta, pualam, manikam, boneda dan seterusnya, (3) Kiasan yang banyak dipergunakan adalah gaya bahasa perbandingan, (4) Bentuk dan struktur larik-lariknya adalah simetris. Tiap larik biasanya terdiri atas dua periode. Hal ini pengaruh puisi lama, (5) Gaya ekspresi aliran romantic Nampak dalam pengucapan perasaan, pelukisan alam yang indah tentram damai, dan keindahan lainnya, (6) Gaya puisinya diafan dan polos, sangat jelas dan lambang-lambangnya yang umum digunakan, (7) Rima (persajakan) dijadikan sarana kepuitisan.









Daftar Pustaka
Wini Angraeni, Keluarga Sutan Takdir Alisjahbana: Harus Menjadi Orang Extraordinary, Majalah Swa, 22 Januari 2009.
Jassin, Hans Bague. 1963, Pujangga Baru: Prosa dan Puisi. Jakarta. Gunung Agung.
Rosidi, Ajip. 1965,.Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Sumardjo, Jakob. 1992, Sinopsis Roman Indonesia. Bandung. PT. Citra Aditiya Bakti.
Foulcher, Keith. 1991, Pujangga Baru: Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Jakarta: Girimukti Pasaka.
Bakri, Siregar. 1964, Sejarah Sastera Indonesia, Jakarta: akademi Sastra dan Bahasa.
Balfas, Muhammad. Pengantar Sastra Indonesia Modern, Leiden: 1976.
Sutherland, Heather. 1968, Pujangga Baru: Aspek-Aspek Kehidupan Intelektual di Indonesia pada tahun 1930-an, Ithaca: Cornell University.
Puti Balkis Alisyabana. 1996, Natal: Ranah nan Data, Jakarta: Dian Rakyat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Essay Nasionalisme

Julius Caesar (Dinamika perjalanan, cinta, dan seorang kesatria)